Panggil aku “penikmat kepedihan”.
Berulang kali mencoba menghapus bayanganmu dalam lara dan
jiwa , namun semua terasa sia-sia. Terlalu menikmati kepedihan yang tercipta ,
terlalu. Bukankah ini memang harus kualami , karena perasaan ini tumbuh dengan
seenaknya saja? Perasaan yang membawakan ku pada kepedihan yang (mungkin) dapat
ku katakan indah dan menusuk? Bukankah begitu?
Aku benci dengan perasaan yang tak tahu diri ini. Aku benci
bila harus bertemu denganmu setiap hari, dan aku masih memikul berat perasaan
ini. Kamu tahu? Tak ada yang lebih sakit saat hatimu terlalu mendasar. Sudahlah,
aku ingin kembali menjadi manusia yang tak pernah mencintaimu. Namun, apa daya
aku sudah terlanjur menikmati kepedihan ini. Aku menikmatinya dengan senyuman
simpul yang penuh arti.
Sebagai wanita, aku hanya ingin menyadari bahwa apa-apa yang lahir dimata menumpuk di dada, yang pada waktunya pun juga berhenti mencoba. Aku harus menghukum diri sendiri, karena telah berani mencintaimu secara diam. Jika suatu hari kamu bertanya , atau mungkin hanya sekedar mengingat; betapa besar cintaku padamu? Sebesar keberanianku mengungkapkannya ~ sebesar keberanianku mencoba menghapusnya di tengah perasaan yang selalu tumbuh walau (kadang) pedih.
Bukan mudah untuk seorang wanita mengutarakannya, bukan
mudah juga untuk seorang wanita harus pergi dan meninggalkan sosok yang sudah
terlanjur dicintanya. Ada sakit yang teriris di dalam hati, ada kepedihan yang
sangat mendalam. Namun dinikmati sendiri. Jika suatu saat kamu masih melihatku
dengan penuh cinta, ingatlah bahwa aku seorang wanita yang sangat menikmati
kepedihan cinta yang berani mencintaimu dalam diam.
@Monicasnad




Tidak ada komentar:
Posting Komentar